Pertengahan tahun 2009 terisi dengan masalah hangat seputar konflik klaim budaya Indonesia oleh Malaysia khususnya tari Pendet dari Bali yang muncul di Discovery Channel, ditambah lagi dengan isu penjualan beberapa pulau di Indonesia. Tak ayal masalah ini semakin memanas dengan munculnya artikel dan pendapat dari warga negara yang membela negaranya masing-masing. Banyak kata-kata yang membuat kuping panas dan naik darah. Bahkan muncul plesetan lagu kebangsaan Indonesia Raya, walau belum pasti si pembuat adalah orang Malaysia, namun cukup untuk membuat rakyat Indonesia terutama para pemuda semakin anti dan berteriak “GANYANG Malaysia”.
Begitu pula di Malaysia ada sekelompok warga yang menyebut dirinya “anti Indo”.
Memang sebagai warga negara yang bernasionalisme tinggi serasa ingin menyerang dan mencaci maki balik. Tapi apakah pantas di zaman sekarang negara yang masih sama-sama berkembang, bertetangga, dan serumpun untuk berseteru dan saling menghina. Alangkah baiknya masalah ini diselesaikan secara diplomatik, mengingat kedua negara telah sejak dulu bekerja sama di berbagai bidang, mengapa kita (Indonesia – Malaysia) tidak berkerja sama memajukan kebudayaan Asia di mata dunia. Dengan catatan saling menghormati dan menghargai kebudayaan masing-masing. Karena apapun bentuknya perang dan konflik sama sekali tidak menguntungkan, lagipula sangatlah memalukan di mata dunia.
Hati-hati terhadap orang yang sengaja memanfaatkan situasi ini untuk kepentingan pribadi. Seperti situs yang memuat plesetan lirik lagu kebangsaan Indonesia Raya, bisa saja itu adalah kerjaan orang yang ingin memperkeruh kondisi kedua negara. Kita harus melihat dan mengatasi permasalahan ini dengan kepala dingin, pemerintah Indonesia sebaiknya menghimbau warganya untuk tidak terpancing berita-berita yang diragukan sumbernya. Dan mungkin permasalahan terdahulu mencuat lagi seperti klaim keris, bunga rafflesia, batik, sampai masalah perbatasan yang saat ini sedang hangat diperbincangkan, bisa jadi pemicu semakin meruncingnya konflik ini.
Dan yang terakhir adalah masalah lagu kebangsaan Malaysia yang “Negaraku” yang mungkin benar atau tidak adalah lagu “Terang bulan” ciptaan salah satu seniman Indonesia, tertulis di situs wikipedia.org “Penulis lirik dan pencipta lagu tidak diketahui” . Terlepas dari siapa penciptanya, kemarin sore (30 Agustus 2009) saya menonton berita di salah satu station TV swasta Indonesia, dan kebetulan ada interview dengan seorang yang mengaku anak dari sang pencipta lagu terang bulan (maaf, saya lupa namanya) beliau mengatakan bahwa terang bulang diciptakan ayahnya pada tahun 1943, (sementara Malaysia merdeka tanggal 31 Agustus 1957) dan sampai saat ini bukti terkuat berasal dari perusahaan rekaman Lokananta Solo yang memang masih menyimpan rekaman lagu “Terang Bulan” dengan baik. Saat saya mendengarkan potongan lagu kebangsaan Malaysia “Negaraku” dan “Terang Bulan” memang sangatlah mirip, hanya beda di liriknya saja. Kemudian si pembawa acara mengatakan bahwa ada sebuah sumber yang menyebut lagu “Terang Bulan” adalah hadiah dari Presiden Soekarno kepada Malaysia, dan ada sumber lagi yang menyebut bahwa Kesultanan Malaysia pernah mengadakan sayembara untuk lagu kebangsaan, dan seniman Indonesia tadi (yang saya sebut di atas) yang memenangkannya kemudian diberi 1000 Ringgit oleh Malaysia. Andaikata berita itu benar, secara logika, maka disini sudah tidak menjadi masalah, karena kemungkinan 1) Presiden Soekarno telah memberikan lagu “Terang Bulan” pada Malaysia sebagai “hadiah”, 2) sayembara dimenangkan oleh seniman Indonesia dan Malaysia memberikan imbalan sebesar 1000 Ringgit (ini berarti Malaysia membeli hasil karya seniman Indonesia). Seharusnya kita bangga karena negara lain (Malaysia) menggunakan karya Indonesia bahkan digunakan untuk lagu kebangsaannya.
Saya tidak habis pikir mendengar ucapan anak sang seniman, beliau mengatakan “Malaysia itu telah banyak mengambil kebudayaan Indonesia, bla bla bla...” . Kalau hanya untuk mendapatkan pengakuan bahwa lagu “Terang Bulan” adalah ciptaan ayahnya, maka tidaklah arif dan bijak menjelekkan bangsa lain di depan umum, apalagi itu siaran langsung. Bagaimana jika kita berada di posisi Malaysia dan mendengar negara lain menjelekkan negara kita di depan jutaan pasang mata. Bukan menyelesaikan persoalan, malah memperkeruh hubungan diplomatik kedua negara. Iya kalau apa yang dikatakan anak sang seniman itu benar, kalau Malaysia mengambil lagu “Terang Bulan” dan mengganti liriknya, Indonesia berhak meminta pernyataan resmi dari Malaysia. Tapi kalau ternyata bukan? Maka malulah Indonesia.
Saat ini pemerintah mencoba yang terbaik bagaimana mengatasi semua konflik ini, tentunya harus dengan kepala dingin serta mengutamakan musyawarah untuk mufakat sesuai dengan bunyi Pancasila sila ke empat. Kita sebagai warga negara yang baik, jangan memperkeruh suasana dengan demo atau melarang mahasiswa Malaysia belajar di Indonesia. Sama sekali tidak mencerminkan pribadi dan citra bangsa yang baik. Kita ada dalam satu rumpun yang sama, maka alangkah indahnya perdamaian, saling menjaga dan melindungi, bukankah sudah menjadi tugas suatu bangsa yang beradab untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia sesuai yang tertera dalam Pembukaan UUD 45 alinea ke empat.
Begitu pula di Malaysia ada sekelompok warga yang menyebut dirinya “anti Indo”.
Memang sebagai warga negara yang bernasionalisme tinggi serasa ingin menyerang dan mencaci maki balik. Tapi apakah pantas di zaman sekarang negara yang masih sama-sama berkembang, bertetangga, dan serumpun untuk berseteru dan saling menghina. Alangkah baiknya masalah ini diselesaikan secara diplomatik, mengingat kedua negara telah sejak dulu bekerja sama di berbagai bidang, mengapa kita (Indonesia – Malaysia) tidak berkerja sama memajukan kebudayaan Asia di mata dunia. Dengan catatan saling menghormati dan menghargai kebudayaan masing-masing. Karena apapun bentuknya perang dan konflik sama sekali tidak menguntungkan, lagipula sangatlah memalukan di mata dunia.
Hati-hati terhadap orang yang sengaja memanfaatkan situasi ini untuk kepentingan pribadi. Seperti situs yang memuat plesetan lirik lagu kebangsaan Indonesia Raya, bisa saja itu adalah kerjaan orang yang ingin memperkeruh kondisi kedua negara. Kita harus melihat dan mengatasi permasalahan ini dengan kepala dingin, pemerintah Indonesia sebaiknya menghimbau warganya untuk tidak terpancing berita-berita yang diragukan sumbernya. Dan mungkin permasalahan terdahulu mencuat lagi seperti klaim keris, bunga rafflesia, batik, sampai masalah perbatasan yang saat ini sedang hangat diperbincangkan, bisa jadi pemicu semakin meruncingnya konflik ini.
Dan yang terakhir adalah masalah lagu kebangsaan Malaysia yang “Negaraku” yang mungkin benar atau tidak adalah lagu “Terang bulan” ciptaan salah satu seniman Indonesia, tertulis di situs wikipedia.org “Penulis lirik dan pencipta lagu tidak diketahui” . Terlepas dari siapa penciptanya, kemarin sore (30 Agustus 2009) saya menonton berita di salah satu station TV swasta Indonesia, dan kebetulan ada interview dengan seorang yang mengaku anak dari sang pencipta lagu terang bulan (maaf, saya lupa namanya) beliau mengatakan bahwa terang bulang diciptakan ayahnya pada tahun 1943, (sementara Malaysia merdeka tanggal 31 Agustus 1957) dan sampai saat ini bukti terkuat berasal dari perusahaan rekaman Lokananta Solo yang memang masih menyimpan rekaman lagu “Terang Bulan” dengan baik. Saat saya mendengarkan potongan lagu kebangsaan Malaysia “Negaraku” dan “Terang Bulan” memang sangatlah mirip, hanya beda di liriknya saja. Kemudian si pembawa acara mengatakan bahwa ada sebuah sumber yang menyebut lagu “Terang Bulan” adalah hadiah dari Presiden Soekarno kepada Malaysia, dan ada sumber lagi yang menyebut bahwa Kesultanan Malaysia pernah mengadakan sayembara untuk lagu kebangsaan, dan seniman Indonesia tadi (yang saya sebut di atas) yang memenangkannya kemudian diberi 1000 Ringgit oleh Malaysia. Andaikata berita itu benar, secara logika, maka disini sudah tidak menjadi masalah, karena kemungkinan 1) Presiden Soekarno telah memberikan lagu “Terang Bulan” pada Malaysia sebagai “hadiah”, 2) sayembara dimenangkan oleh seniman Indonesia dan Malaysia memberikan imbalan sebesar 1000 Ringgit (ini berarti Malaysia membeli hasil karya seniman Indonesia). Seharusnya kita bangga karena negara lain (Malaysia) menggunakan karya Indonesia bahkan digunakan untuk lagu kebangsaannya.
Saya tidak habis pikir mendengar ucapan anak sang seniman, beliau mengatakan “Malaysia itu telah banyak mengambil kebudayaan Indonesia, bla bla bla...” . Kalau hanya untuk mendapatkan pengakuan bahwa lagu “Terang Bulan” adalah ciptaan ayahnya, maka tidaklah arif dan bijak menjelekkan bangsa lain di depan umum, apalagi itu siaran langsung. Bagaimana jika kita berada di posisi Malaysia dan mendengar negara lain menjelekkan negara kita di depan jutaan pasang mata. Bukan menyelesaikan persoalan, malah memperkeruh hubungan diplomatik kedua negara. Iya kalau apa yang dikatakan anak sang seniman itu benar, kalau Malaysia mengambil lagu “Terang Bulan” dan mengganti liriknya, Indonesia berhak meminta pernyataan resmi dari Malaysia. Tapi kalau ternyata bukan? Maka malulah Indonesia.
Saat ini pemerintah mencoba yang terbaik bagaimana mengatasi semua konflik ini, tentunya harus dengan kepala dingin serta mengutamakan musyawarah untuk mufakat sesuai dengan bunyi Pancasila sila ke empat. Kita sebagai warga negara yang baik, jangan memperkeruh suasana dengan demo atau melarang mahasiswa Malaysia belajar di Indonesia. Sama sekali tidak mencerminkan pribadi dan citra bangsa yang baik. Kita ada dalam satu rumpun yang sama, maka alangkah indahnya perdamaian, saling menjaga dan melindungi, bukankah sudah menjadi tugas suatu bangsa yang beradab untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia sesuai yang tertera dalam Pembukaan UUD 45 alinea ke empat.